Mei 2024 | Empati seorang Pelatih
"Nah, seperti itu mestinya seorang sabeum berkomentar," -- ketik salah seorang murid ke gua di tempat latihan.
"Ada apa sih, kenapa ada 'mestinya'?" tanya gua pada personal chat.
Ada aja nih cerita kalau gua lagi ga di dojang pusat tempat berlatih.
Keesokan malamnya gua disuguhkan sebuah cerita bertemakan empati. Murid ini mendapat komentar kurang menyenangkan dari seorang pelatih Taekwondo. Kejadiannya gua tau persis saat dia pamit ga latihan sementara karena ada cidera pada pinggul dan sekitarnya that I understand will lower their performances. Sekitar udah sebulan berlalu, murid ini memulai kembali latihan dan tidak hanya komentar tapi sudah bernada cemoohan. Cemoohan itu mengarah bahwa murid ini latihannya ga serius.
Gua agak miris mendengarkannya. Sisi lain gua memilah-milah beberapa hal. Mulai dari kepribadian, budaya, hingga latar belakang dan sebuah fase.
Gua mengawalinya dengan sebuah pemahaman soal empati. Terutama sebagai pelatih, sebagai seorang pelatih -- kebetulan gua sendiri dulu dilatih sebagai pelatih profesional yang elit. Elit konteksnya adalah bukan cuma soal keahlian mengolah fisik klien, sudah sampai level branding dan komunikasi. Elit sendiri juga mencakup konteks bahwa tujuan klien ke gua adalah jadi lebih bugar. Dari fondasi itu, gua kemudian mulai berkelana membangun portofolio sebagai pelatih hingga saat ini jadi lintas olahraga dan punya titel sabeum.
Sulit ga sih berempati? Katanya sulit.
Sulit ga sih berkomunikasi? Katanya gampang.
Cuma yang jadi flop ketika baik komunikasi dan empati sama-sama sulit.
Gua kemudian membawa pemahaman tersebut ke sebuah kultur. Bahwa olahraga bela diri itu bicara soal sebuah waham, dalam term bahasa Inggris disebut sebagai admiration. Juga hierarki, artinya siapa yang lebih tinggi hierarkinya -- seseorang punya sebuah hak veto ke seseorang yang lebih rendah tingkatannya. Agak beririsan ya dengan perundungan atau bullying yang coating-nya adalah penguatan mental. Gua pribadi ketawa ngeliat waham ini, sebagai spesialis perundungan baik korban dan pelaku -- these things are no such things. Tapi terus dilanggengkan dan menjadi sebuah mindset yang mempengaruhi perilaku secara umum. Hal ini juga makin kusut kalau dikalikan dengan lomba adu tarung antar petarung bela diri.
apa sih lo, lemah.
apa sih lo, gitu doang capek.
Well, as soon it is athletism scenes, IDGAF.
Guapun pernah ngegeber anak orang mental fisik dan ga peduli dibilang kejam. Karena gua tau at stakes-nya adalah pangkat anak itu kemudian lebih baik dari gua sebagai anggota kepolisian. Cuma jika gua mau ngegeber orang alias murid sebagai sabeum dengan latar profesional, korporat, wait sebentar.. apakah sudah ada consent?
*naikin alis*
Ada premis, lo bisa ngajar tapi belom tentu bisa ngedidik. Karena ga semua punya proper benchmark soal perkembangan individu beda case ama gua yang latar pendidikannya psikologi . Mereka hanya kalibrasi urusan pengalaman dan feeling tipis-tipis. Berbeda dengan gua, kebetulan latar pendidikan mendukung jadi gua bisa lebih luwes dalam mendidik -- kebetulan saat ini skenanya adalah pelatih Taekwondo.
Gua lalu merangkum di ujung obrolan bahwa selain jangan terlalu diambil hati, namun mengertilah orang-orang seperti ini populasinya banyak di Indonesia. Terlebih dengan latar belakang atlet bela diri ya -- ga semua, tapi ga sekali gua denger cerita ini.
Yep, menjadi pelatih bukan sebuah keadaan settle juga ya.
It has to be growing, as well.
***
Komentar
Posting Komentar