Januari 2024 - Soal Rumah
kadang gua bingung, kemarin itu kita di mana brodi..
kayanya udah seperti rumah tapi pada akhirnya kita gak pulang ke situ,
ya jiwa gua-pun udah gak disitu brodi, udah ada tempatnya...
Siang ini gua ngobrolin soal rumah sama salah seorang sahabat. Pembicaraan merembet jadi keadaan kita di klub Taekwondo, yang kebetulan setelah sabuk hitam cukup melongo dengan realita kita gak lebih dari anggota latihan. Rasa-rasanya hak dan kewajiban seperti perusahaan pailit : dibebastugaskan. Guapun menutup pembicaraan itu, karena teman satu ini juga sedang terombang-ambing dan ga punya tempat menetap baik fisik dan jiwa. Tentu bukan situasi yang nyaman dilihat.
Cuma gua ada pengalaman dan memberikan gua refleksi mental. Hingga saat ini, E-KTP gua masih beralamat di Jakarta Timur. Sementara, rumah gua saat ini di Sawangan. Berbagai alasan nyokap gak pengen pindah daerah karena Jakarta dengan status Daerah Khusus Ibukota memberi banyak benefit pada warganya dari lahir hingga meninggal. Terlepas dari hal yang sedang terjadi sebelum dan saat ini berlangsung. Gua memahami perasaan itu dan tidak sulit dalam perihal penerimaannya.
Sejak lahir gua ada di rumah itu kebetulan. Bahkan sampai gua kerja dengan masa kerja hampir satu dekade, gua masih ada di rumah itu. Cuma rasanya udah bukan kaya rumah, udah lebih kaya ngontrak atau ngekos karena ada fees yang perlu disiapkan. Bukan maintenance fees juga. Gua sempet berkonflik sama nyokap urusan beresin barang, karena saat yang bersamaan gua cukup sibuk dengan kerjaan dan Taekwondo. Sampai akhirnya lumayan banyak barang gua sortir terus dibuang. Setelah dikosanpun, gua baru tau barang gua banyak yang ga kepake, jadi pas balik ke rumah dari kosanpun, barang udah gua sortir lagi dan sampe di rumah barang gua masih banyak juga. Kayanya gua butuh satu hari buat sortir lagi barang-barang yang ada di kamar gua lagi.
Saat meninggalkan Utan Kayu, ada perasaan berat karena hidup gua sudah ada di setiap meter jalanan di Utan Kayu. Kos, membantu gua merapikan perasaan itu. Hingga suatu hari gua menganggap Utan Kayu sudah menjadi histori bukan lagi kehidupan gua hari ini dan seterusnya. Saat ini gua kembali ke Utan Kayu karena masih ada sepupu di sana, gua menjadi tamu. Jadi tamu rupanya seru banget, karena gua jadi tamu di area yang dulu gua adalah penduduknya. Lalu ketemu lagi sama tetangga yang masih ada di sana, nanyain kabar, silaturrahmi lagi -- hal-hal yang sebelumnya masih cukup dekat, saat berjarak, jadi terasa lebih erat.
Utan Kayu menjadi daerah seperti daerah lain di Jakarta pada umumnya. Bedanya gua fasih sekali soal jalan tikus di sana sampai cari tau dimana tempat cukur yang kualitasnya selevel Chief tapi ratenya masih lokal. Perasaan menjadi tamu-pun gua lebih akrab dan artinya gua akan lepas dan bebas dari kewajiban sebagai penghuni.
Sesungguhnya perihal perasaan temen gua. Gua gak susah menjelaskan secara logis dan emosional. Namun, sesungguhnya penjelasan itu tidak adil bagi orang yang saat ini belum stabil. Temen gua saat ini merasa rikuh, karena mungkin ia sempat meninggalkan klub Taekwondo karena urusan keluarga dan saat kembali - keadaan sudah berubah bahkan ia menjadi asing dengan keadaan itu. Bagi beberapa orang, merasa asing setara dengan pembunuhan karakter. Kalo gua pribadi, menjadi asing itu hanya perihal peran. Kita bisa menjadi sosok akrab detik ini, tapi bisa jadi sosok asing di detik berikutnya. Sikap mental itu yang belum hadir dan dipahami -- guapun memahami dan manusiawi menurut gua.
Perihal rumah, meskipun so called rumah gua saat masih di Utan Kayu. Namun ada undeniable de facto bahwa rumah itu aslinya milik pakde gua. Asetnya pakde gua. Kebetulan beliau sudah sepuh, dan pengelolaan aset kembali ke stakeholder. Saat alih-kelola itu berlangsung, beberapa weekend gua sempat meeting dengan kakak-kakak sepupu. Meeting itu membahas sepupu gua yang kemana tinggalnya mereka setelah rumah itu. Meskipun hari ini udah selesai, momen itu yang membantu gua banyak saat ini. Terutama mengolah perasaan yang berubah.
Demikian klub dan kehidupannya saat ini. Gua gak banyak 'cincong' atau 'baper'. Gua dateng sesuai jadwal latihan, bergaul seperti biasa, bedanya dalam menjawab berbagai hal dan berbagai rekues. Gua pribadi lebih banyak template : coba tanya ke stakeholder. Karena jujur, gua bisa menjelaskan, gua pribadi seorang anggota latihan bukan board of director-nya. Sehingga suatu hari saat terdapat masalah dan gua di-audiensi perihal masalah itu -- jawaban gua cukup diplomatis dan strategis. Satu sisi, jika ada intervensi maka harus ada sosok arbitrator. Sosok tersebut juga harus ada dalam struktur. Sementara, kalau struktur juga gak ada, tentunya intervensi gak bisa dijalankan.
Impresi teman gua mengungkap kesedihan -- ya wajar menurut gua dia sedih. Been living a life there, from no one to someone. From white belt to blackbelt. Buat gua, hal itu bikin sedih dengernya. Lalu gua bilang : lo tau kan, gua sekarang juga udah mengepalai sebuah dojang? Kalo lo ada waktu mampir aja, jaraknya juga setengah dari jarak lo dari rumah lo ke dojang tempat biasa kita latihan. Sebuah ucapan yang bermaksud untuk menenangkan. Sepemahaman gua, kalau kita gak pernah ada satu persetujuan bahwa kita anggota di rumah itu, sampai kapanpun kita ga terikat hak dan kewajiban terkait rumah itu.
Sesungguhnya sudah lama gua menyadari satu hal perihal rumah ini. Sesungguhnya gua juga sudah memahami. Cuma rupanya yang paham gua doang. Kebetulan temen-temen gua beberapa belum paham.
***
Komentar
Posting Komentar