The Last of 2023 - A Couple Time Backward
terlalu banyak hal yang ada di dalam kepala ini, sampai satu-satu gua pengen diketik kalau ada waktu.
Pikiran ini mulai mencuat saat melihat kerjaan segitu banyaknya. Pada saat bersamaan satu temen resign, dua temen cuti hamil, dan ambisi-ambisi para atasan pembuktian mereka really worth have that dimes every month in their bank account. Gua, yang cungpret (kacung-kampret) ini cuma level eksekutor sesekali level atasan seolah gua mengerti konteks dan dunia mereka. In a time, gua masih asik menyembunyikan tepatnya membatasi banyak hal antara dunia gua setelah jam kantor dan dalam jam kantor. Selebihnya semua common ground talk aja.
Menyembunyikan sesuatu adalah hal natural yang gua pelajari seiring bertambahnya usia. Berbalut gaya hidup dan profesionalisme, banyak hal yang terus gua sembunyikan. Kadang, karena privasi; kadang, karena hal-hal ini boleh dibilang unrelatable buat banyak orang. Berlatih menyembunyikan sesuatu berbeda dengan berbohong. Menurut gua berbohong ada konteks un-alignment, inconsistency, menyembunyikan sesuatu sesederhana memastikan sesuatu itu tidak terlihat oleh siapapun selain diri sendiri.
Buat gua pribadi, pengalaman menyembunyikan sesuatu dari siapapun diawali dengan situasi judgemental atau penilaian lebih tepatnya penghakiman buat gua. Tampil berantonim dengan sembunyi. Suatu hari gua tanpa beban apapun menampilkan sebuah hal yang menurut gua santai aja -- semisal menyanyi. Namun, dalam kesempatan yang sama, gua menerima penilaian : err, your voice so raw. Sebentar, tentu itu sebuah distorsi buat persepsi gua. Saat itu gua ga kepikiran untuk impress, hal yang gua pedulikan adalah tension release. Sejak hari itu, gua enggan dan sangat selektif memilih menampilkan sisi diri gua.
Hingga tidak satupun sisi dari gua tampil. Hanya yang tampil adalah sisi yang diharapkan oleh persepsi masing-masing individu. Semisal : something lower and bitter comedy about me; gua pernah becanda soal orang tua sampai bilang : nggapapa, yang penting ortu sayang, daripada aku yang disayang cuma uangnya, bukan badannya, jadi ya sudah uang saja kuberi, tidak sepeser diriku untuk orang tuaku.. Lalu semua terkejut dengan racikan itu. Ya, betul itu komedi kelam, tapi sepertinya terlalu menohok. Persepsi tersebut saat ini mulai distorsi dan mencari sesuatu yang orisinil soal gua.
Sialnya, gua jawab : it hidden, somewhere I don't know and hard to remember.
Lalu apakah dengan self-fabrication, menyembunyikan diri dan menyembunyikan banyak hal melegakan?
Buat gua, painstakingly relieving. Karena jujur, dalam pengalaman gua menampilkan diri -- banyak hal yang gua pelajari. Banyak kejadian menarik yang bisa gua pahami maknanya. Pada satu titik seperti ini, gua kebetulan lagi dikejar sama sebuah realita : banyak yang mempertanyakan keaslian gua. Praktisnya kan bisa dijawab : lah tampilin aja. Well, gua tidak ingin siapapun hendak paham, dan gua memahami keterbatasan pemahaman siapapun. Beda sama gua yang lebih sigap dan tanggap akan keterbatasan tersebut.
Sesekali sisi jahil gua kumat kalau mengenai who I am. I'll create miles to chase, as they made me create miles to distancing. Gua akan menambahkan sebuah syarat : time is limitless, chase while you can, stop while you stop.
lalu apakah keadaan ini akan gua 'pelihara'?
Pastinya, karena gua berpatokan gak semua orang berhak buat mengetahui siapa gua. Setelah mereka ga pernah mau tau siapa gua.
The story goes up, salah satunya adalah saat pertengkaran gua dengan ortu di usia dewasa. Hari itu kami saling berteriak satu sama lain, menyakiti hingga titik nadir yang tidak akan dipikirkan oleh individu yang mampu memberi kasih sayang satu sama lain. Dalam benak kecil gua sebagai anak, apakah ini yang harus gua hadapi, orang tua yang tidak kenal anaknya sendiri hingga butuh konflik? Kemana mereka selama ini?
Dalam dua tahun berturut-turut, gua 'memenangkan' pertengkaran karena kartu truf orang tua ada di gua semua. Saat bertengkar hebat dengan bokap yang berakhir gua memutus silaturahmi dengan beliau sebagai anggota keluarga. Kalimat pertama dan terakhir gua dengar soal diri gua dan cukup menjelaskan berbagai hal yang kurang gua pahami seumur hidup ini adalah :
saya tidak pernah siap punya anak, sepertimu, apalagi sampai dua anak.
Sebuah penegasan yang lugas dan jelas. Dada terasa sesak saat itu, dan terlebih seolah itu kalimat jujur pertama dan terakhir dari ribuan kalimat kebohongan dari mulut seorang bapak ke anaknya. Mengakhiri pertengkaran itu guapun mengucap :
Selesai. Hubungan saya dan bapak sudah tidak akan ada lagi selamanya. Bapak tidak berhak atas apapun soal hidup dan perjalanan hidupku kedepan, termasuk akan kebahagiaanku. Karena aku membuatnya sendiri, tanpa bantuan bapak. Jangan pernah rusak itu, sekali merusak aku tak ragu menghabisi tanpa sisa.
Kalimat gua mengakhiri hari itu. Gua pulang dan menangis hingga harus berhenti ditengah jalan. Rasa sakit yang melebihi rasa sakit gua jatoh dari motor dua kali. Sesungguhnya, pada pertengkaran itu kalah jadi abu, menang jadi arang. Namun hal yang gua perjuangkan saat itu kejelasan dan makna gua di sebuah keluarga. Setelah gua tahu siapa gua dan maknanya apa, gua melanjutkan hidup. Gua hanya ingin beban gua satu per satu hilang. Hari itu beban gua seolah hilang banyak banget. Langkah gua lebih ringan. Namun kewajiban gua sebagai manusia belum selesai, sebagian penghasilan gua tetap harus buat sosok yang dulu gua anggap bapak. Sosok yang idealnya melindungi, mengasuh dan membuat gua jadi utuh.
Setelah pertengkaran itu, kunjungan gua ke rumah dia persis seperti dinas sosial. Datang, gak sampai 30 menit udah pergi. Karena buat gua, kewajiban gua sudah berkurang - gak lebih hanya sebatas ekonomi. Tidak ada lagi hubungan emosional. Bapakpun tak pernah sempat bertanya apapun, karena gua datang dengan berondongan kewajiban yang harus gua ceklis lalu gua berangkat lagi.
Oho, lalu bagaimana dengan sosok ibu? Demikian gua berhasil mengakhiri sebuah konflik dan meletakkan sebuah kesimpulan.
Kejadiannya hari ini gua sehari-hari PP Sawangan - Kuningan. Intinya, adaptasi gua udah bukan hitungan hari, tiap detik gua adaptasi. Guapun sakit ga sekali, boleh dibilang gua penyumbang pendapatan Halodoc karena rutin banget ada aja sakitnya tiap bulan. Gua akhirnya balik ke rumah setelah gua pindah tim dan ga perlu buru-buru berangkat pagi. Ini aja gua pengen infusan. Karena rasanya capek banget dan butuh boost.
Pertengkaran hebat gua sama nyokap terjadi setahun lalu, setaun setengah mungkin. Saat mindahin barang dari Utan Kayu ke Sawangan. Nyokap yang awalnya lega karena bisa pindah ke Sawangan, jadi pilu karena gua tegas dengan pilihan gua unuk ngekos. Gua di sini ga pengen cerita ada hal yang sangat gua pertimbangkan yaitu kerjaan dan kejar-kejaran target. Saat itu, nyokap selalu merasa ide dia paling worthed. Sejak gua dan kakak dewasa, kita tahu titik kepleset nyokap, jadi kita ga pernah pro atau kontra, selalu membiarkan dia buat memutuskan hal-hal buat dia, termasuk urusan wangi parfum. Hari itu nyokap teriak gua egois, dan hal yang bikin dia marah selama ini adalah gua ga pernah cerita apapun soal keseharian gua. Mau gua marah, seneng, putus sama pacar, atau apapun, gua ga pernah cerita. Berbeda sama dia, yang selalu punya cerita tentang anehnya kolega sesama pensiunan. Termasuk, saat gua dibaptis Katolik, prosesnya tidak satupun anggota keluarga tahu. Itu part menarik yang akan gua ceritakan.
Setelah nyokap puas berteriak gua egois. Lalu gua balas dengan sebuah paragraf :
simpel kok, soal pacaran -- aku ga pernah cerita sama ibu? Karena ibu sendiri ga membina rumah tangga dengan sebuah awal kasih sayang. Ibu ekspos perceraian, buruknya bapak - padahal itu pilihan ibu sebelumnya. Gak perlu aku cerita ke orang yang portofolionya ga bagus. Karnea dia sendiri masih membangunnya.
Lalu, apakah ibu pernah mau tahu kesukaanku? Gak pernah, yang ibu selalu tampilkan adalah kekuranganku, gak bisa ini, gak bisa itu. Ya, aku sih simpel, kalau orang ga bisa berempati ke aku, buat apa aku cerita ke orang itu, siapapun itu, seberapa dekatnya jaraknya pada ku.
Aku kalau ada masalah mending bayar ke psikolog, empati ada meskipun berbayar. Aku ga pernah susah, kalau ga ngerti, ga akan aku paksa ngerti. Otak orang tu ada keterbatasannya, selalu.
Ibu, lalu terhenyak, terdiam dan menangis tersedu. Pola-nya kemudian udah kebaca, Gua kudu ngelewatin sesi tanya-jawab sama semua anggota keluarga besar. Judgement "undispute durhaka boy" ga gua hindari. Ini bagian kedua dan for me, just a piece of cake; kebetulan kerjaan jadi agak lebih bisa napas secara waktu sekitar sembilan kemudian gua balik ke rumah.
Hal yang agak berbeda saat ini adalah setiap pagi selalu tersedia bekal buat gua. Karena seminggu gua balik, gua ga pernah sarapan -- ini kebiasaan lama ada lagi pas di kosan. Gua cuma boleh dibilang di kosan juga numpang tidur sama mandi, makan selalu di luar kosan. Nyokap cuma bingung, karena gua bangun juga udah jam 7, waktu gua siap-siap hanya 60 menit, terus berangkat kantor.
Mungkin sejak pertengkaran itu, satu hal yang gua lakukan adalah ga sengaja membentuk benteng yang luarbiasa tinggi ke baik ke bapak atau ibu. Nyokap, sampai hari ini masih belum memahami kalau gua udah punya kehidupan. Dalam pikirannya yang baru berkembang, kenapa anaknya dua-duaan ini ga ngasih dia masuk ke hidup dewasa mereka. Tanpa nyokap tahu, sekitar seminggu sebelum kakak gua nikah, gua sama kakak udah paham bahwa nyokap bukanlah sosok ibu yang baik. Kita mencukupkan dan bersyukur beliau sudah menyekolahkan kita. Kita gak mengharapkan sebuah kisah yang sangat romantis seperti kisah Putri Diana sebagai ibu, yang bisa memberi bekal yang lebih buat Pangeran William dan Harry menjadi seorang yang penuh kasih sayang. Seminggu sebelum kakak nikah, kita mengakhiri masa anak-anak dan berubah menjadi sosok laki-laki dewasa. Some part, gua juga masih gak percaya sama kakak, karena dia ahli soal bikin janji dan harapan palsu wakakaka. Cuma sejauh ini, dia bisa menepati kesepakatan terakhir kita.
Pertengkaran sama nyokap lebih banyak setelah gua balik ke rumah. Mulai dari kamar gua berantakan karena waktu gua banyak di kerjaan dan Taekwondo. Baju gua sehari-hari ga pernah gua setrika (lagi karena waktu gua abis). Bahkan hari ini gua pulang selalu diatas jam 10, entah gua balik kantor Taekwondo, ngegym, berenang. Nyokap tuh sampe pasrah aja sekarang kalo gua balik malem. Pasrahnya nyokap juga sampe ngeliat bungkusan Halodoc ga pernah berhenti ada di kamar. Nyokap gak berani bertanya lebih lanjut, karena kalau nanya lebih lanjut - jawabannya dia tau : ini permintaan dia juga biar gua di rumah. Jadi ya gua balik ke rumah selalu bawa Halodoc selama bulan-bulan ini. Sakit gua ga pernah jauh-jauh dari pernafasan.
Suatu hari temen-temen kantor gua komentar : gila sih lo mas, pilek-pilek masih nganterin orang tua? Itu lo sakit posisinya. Jawab gua : ya soalnya yg deket gua, ya gua masih ada sisa kesadaran dikit n masih . Kakak gua? Ya jauh. Waktu itu posisinya gua pilek buang dahak berkali-kali dan masih sempet nganterin nyokap ke pasar. Buat temen-temen hal ini ga masuk akal, namanya juga orang sakit ya istirahat, ini gua udah berapa kali sakit, keliatan masih beraktifitas yang dimana mestinya beristirahat total. Beberapa temen gua jadi mempertanyakan gua sbg anak kayanya ga pernah dikasih kesempatan istirahat. Pilek berat aja masih nyetir mobil, karena ortunya butuh ke pasar buat masak.
bukan masalah kebanggaan ngabdi saat lagi sakit, tapi ini lagi sakit dan ortu lo ex-nakes.. baru tau sih ada pasien suruh nyetir ambulan padahal dia pasiennya..
Soal kejar-kejaran ini juga masih kontekstual. Baru-baru ini gua harus meet up dengan pelatih kepala klub Taekwondo di Bandung. Ada satu hal esensial yang harus disampaikan langsung. Spaneng dong, budget udah mepet, jadilah jalan seadanya. Itupun, selesai foto, balik ke Jakarta lagi dan malemnya gua party sama sahabat di nikahan sahabat kami. Besoknya temen-temen Taekwondo cuma bingung karena ngeliat gua pagi di Bandung, malem di Jakarta. Mereka yang mengaku sibuk aja ga berani segesit gua.
jujur, gua juga ga bangga sih.
Beralih ke kerjaan, jujur sebenernya gua males cerita soal kerjaan. Cuma kebetulan tiga bulan ini (dan kayanya di bulan Desember akan lepas satu). Gua mulai ngeh kok ini kerjaan gua ga abis-abis. Masuk udah jam 9, tau-tau udah jam 3 dan kerja lagi tau-tau udah jam 6. Enjoy? Ini bukan masalah enjoy, gua sendiri bingung kok tau-tau segabreg kerjaan gua. Sudah hampir 6 bulan ini gua duduk, diem, mendekem aja, ya paling ada keliatan cuma bungkusan halodoc -- plus kayanya gua yg paling sering bawa. Kaya halodoc is my bestie.
jujur gua ga bangga kok jadi orang sibuk.
semoga semua ini berakhir.
Tadi gua hampir dijitak atasan karena gua mau infusan lagi.
Kayanya kemaren pas gua infusan dia kena tegor bgt sama kantor. Ngajarin ga bener..
***
Komentar
Posting Komentar