Dailyblog #2 - April 2022

 Kompleksitas Orang Tua Durhaka

lagi hype nih dibahas orang tua durhaka. 

udah ga jaman anak durhaka (tapi ya tetep aja populasinya selalu ada)

Gua mengutip dari obrolan sama Radit soal kebahagiaan hidup yang gua konsepin sebagai domain-domain kepuasan hidup yang masing-masing ada setting dan alurnya. Salah satunya soal perilaku orang tua. Kayaknya puas banget ya ngegibah kurangnya orang tua apalagi kalau sampe sepanjang hidup kita, sampai dewasa, orang tua gak melihat kita sebagai sosok dewasa. Maka jadilah kita si approval seeker. Gitu. Gua ngalamin? Banget, ambil pusing? Nggak. 

Ketika ngomongin orang tua durhaka, kalau udah nemu kriteria dan lain-lain - kriterianya itu empuk banget buat judging dan justifikasi : sh*t it happened to me af. Namun ada titik buta bahwa peak of iceberg alias ujung dari palkon  kompleksitas perilaku orang tua - bahwasanya mereka adalah orang dewasa hasil didikan sebuah lingkungan dan kite cuma dapet narrowing down-nya. Kalo direkap panjang banget, makanya gua pada hari itu ngobrol bilang : mulai dari sebuah perilaku dan rangkai jadi sebuah framework sebelum jadi kesimpulan. 

Kalo case yang gua alami sendiri adalah ortu gua adalah dua orang dewasa yang wujudnya aja sesuai liniwaktu perkembangan manusia. Kalo mentalnya mah nyangkut bener, apalagi pola pikirnya. Gua pernah mengalami kelelahan karena kalo sama bokap itu mikirnya filosofis halu, kalau sama nyokap praktis banget. Pusing ga lo. Kalau akhirnya mereka cerai, gua bisa menjelaskan secara kinerja kognitif mereka. Sebagai dewasa mereka sibuk bikin 'ideal'-nya begini bukan 'coba kita sepakati begini'. Dari cerita perceraian mereka yang gua pahami adalah kurangnya komitmen, tekanan yang disono-sini, sampe hal mendasar : rupanya ortu gua banyak unfinished business secara mental. 

Frankly speaking, gua ga bangga sebagai dewasa yang bisa menyelesaikan masalah - karena konsep penyelesaian masalah gua ada dimensi trauma dari orang tua sendiri yang dimana mereka juga enggan menyelesaikan masalah dan pake konsep waktu akan menjawab. 

yeu, dewasa 4.0 paling kaga bisa tuh kaya gitu, 

Tumbuh dewasa buat gua artinya lo akan dealing with much collateral stuff, ga mungkin sebuah katastrofi itu cuma pada satu domain, pasti jadi collateral alias nyambung aje gitu satu sama lain. Later on sebagai orang tua, gua mungkin bisa aja ga sengaja ngasih lesi mental ke anak tapi seenggaknya ya gua udah tau dan ada pencegahannya gitu. Misalnya deh paling gampang, what do you want in your life? Gua selalu bertanya itu, ketika gua dapet ya gua puas, dan gak melemparkan itu ke siapapun. Lu yang mau kok bisa-bisanya utilizing orang lain. To me that's not how I define my satisfaction in life. 

begitar jreng. 

Memang gua akui, gua rada lone ranger -- karena yang punya dan paham metriknya gua sendiri. Gua kemudian gak gegabah ideal, jadiin ortu gua less toxic, tapi sebagai anak yang dewasa gua akan meninggalkan pertanyaaan : kenapa anak gua begini ke gua padahal semua baik-baik saja. Cuma yang lucu sih, mereka ga kunjung sadar sama jawabannya. Salah satu epic talk adalah saat bokap tau gua jadi Katolik. Bokap merasa dia berhak tau anaknya bergerak ke mana, tapi gua cut karena dia sendiri aja ga tau arah hidupnya ke mana kok bisa-bisanya harus tau anaknya ke mana. Tentuin dulu lah arah hidupnya ke mana. 

Tidak memungkiri jangan pernah nekat merehabilitasi orang tua durhaka. Karena salah satu komponen fundamental buat rehab adalah kesadaran dan penerimaan diri dari orang tua. Ya kalo dua itu aja udah ga ada (as in my case) ya jangan nekat. 

*guling-guling terus nyemplung ke kolam* 

***

 Panduan Jadi : "Kayaknya Kamu Enak Orangnya" (Sefruit Refleksi) - Part 1

katanya sih, hari gini orang-orang itu banyakan palsu alias fake. Istilah ini diawali dengan merebaknya akun gosip antar pengguna medsos. Lo ga harus jadi orang terkenal atau selebritas, bahkan lo warga biasa aja bisa kena 'main hakim sendiri' sama pengguna medsos lain akan perilaku lo. However, media sosial di Indonesia ini pada level tertentu berhasil menaikkan pamor, namun pada level lainnya berhasil juga mengembalikan atau mungkin menunjukkan mental model orang Indonesia, salah satunya main hakim sendiri. 

hati-hati dibocorin sama temen lo, 

sebuah ungkapan umum mengenai perkawanan di media sosial. 

cuma jadi sebuah general failure juga ketika, 

mau nyari temen di medsos,

lo kira semua medsos konsepnya kaya LinkedIn ape, wakakaka. 

Setelah gua gali (anaknya mental kuli nih monmaap, seneng menggali) termin mau nyari temen di medsos adalah mencari dopplegangger alias orang yang kemiripannya 95% sama lo. Dalem ati gua mencelos : se-gila apakah dunia masa kini sampe lo cuma mau temenan sama diri sendiri? Pada pengalaman gua, satu dan lain temen gua ga ada yang sama. Satu hal yang sama dari perkawanan kita adalah mediocre salaryman, pengen tajir tapi tidak ada DNA tajir, sama kebetulan tukang lawak semua, pengen ngirit cem pendatang tapi jiwa feodal bin glamornya kuwadh. Semua itu tidak melalui proses seleksi, kebetulan kita ada di sebuah lokasi yang sama, usia yang sama, penderitaan yang sama, jadilah kita sebuah kawanan. 

Gua tidak mendiskreditkan orang-orang yang pandai bergaul atau social butterfly, atau dimane aja ada temennya. Namun gua menyangsikan kalau orang dengan social skill yang minim, terus berpikir medsos adalah sebuah filter. Sini, lo mending gua bawa ke konselor. Karena kemungkinan dari awal hidup emang udah salah fokus aje hidup lo, dengan konseling coba lo mulai fine tune.

Buat gua pribadi kalau insecurity lo masih kenceng banget, jangan nekat deh. Kalo lo masih easily irritated, jangan nekat deh. Karena profil kaya gua juga bukan sebuah panti sosial digital yang bisa menerima : oya lo insecure, social skills lo absurd -- wani piro? Wakakakaa! Ini kalo gua rekap DM masuk, gua punya 1 season podcast kontennya soal kesmen orang-orang secara umum - tentunya nama disamarkan. Salah satu higlighted feature gua sebagai pengguna medsos adalah : mas kayaknya enak dan asik diajak ngobrol. 

dzing~~

Cuma pas ngobrol sama mereka bukan two way communication, gua malah kaya ngasih wejangan. Gua ga dapet apa-apa selain ya itu all slippery path dari mereka. Kalo gua audit internal, konten medsos gua itu easy to read-reach. Kenapa? Soalnya saya suka baca buku dan menulis. Karena menulis, gua bisa pakai cara pandang bukan pribadi, orang yang ngebaca, this exclude gua emang pemrofil psikologi. Setiap gua meramu konten, itu gua udah inhibisi ego ceritanya, alias udah ga pake cara pandang gua. Apalagi kalau bicara hal-hal umum. 

Hal kocak yang gua temuin along the way, this is recurring, orang pengen nih tweet, caption yang keliatannya mereka intelek atau menunjukkan taraf kecerdasan mereka. Cuma sayangnya, gap-nya aja kaga diisi coy, baca buku gitu, atau apa gitu. Ya gimana lo mau produksi, wong bahan bakunya aja ga disiapin. Ente kalo ngelawak suka lucu padaan. Gimana lo mau jadi asik, sementara lo aja ga paham bahannya. 

If school or college won't make you look smarter than average, use internet. 

But if the internet can't elevate either way, idk what's wrong with your internet credit usage behavior. 

Nah sama ini sih, gua menengarai makin kesini keadaan sosial akan membuat orang jadi cenderung disfungsional. Gampang kok, coba sentil soal empati sama simpati. Paling dijawab : simpati yang biaya paket internetnya mahal itu kan? *cekikikan nutupin mulut*. Salah satu termin orang asik adalah kupingnya ga budeg. Kuping sama nurani nyambung. Yang udah-udah, adanya orang kesentil sama gua. Mereka puas cerita soal siapa diri mereka dll dsb, terus gua menyadari bahwa kuping sama nurani mereka berjalan ada lajur berbeda. Sehingga ketika mereka nanya balik : how about you? Gua jawabnya : why should I told you? Mereka pasti tersinggung sih, lalu gua tambahin : should I tell my story for people who yet optimize their ears and brain? I already put it on my counsellor.  

tampar aku mas, 

tampar aku..

konteks empatinya harus banget cerita terkelam hidup seseorang? Itu iya pada tingkat emang lo udah kenal baik. Cuma buat awal? Lo ga peduli gua seneng banget ngebahas mobil, olahraga sama gemblong laut di medsos gua? 

if you can't understand me at my lowest and cheesiest level

I bet you can't stand me on my catastrophical level

pew pew

Gini yak, saking gua sebagai makhluk psikologi udah kenyang cerita kotor soal perilaku manusia, why would I have to go dark if I can walk the light way.. 

Kadang lucu juga sih ngeliat orang pengguna medsos rasio sadar < gak sadar. Cuma konyol juga kalau gua harus nerangin fungsi otak pada perilaku dan manifes perilaku atau manifes impresi citra diri orang asik. It's your body and brain people, go find your own user manual and utilize it, duh. 

 

you think, I you think think

to be continue

***