Dailyblog #1 - Februari 2022
Lewat Tengah Malam #1 - Februari : Sebuah Keindahan Illahi
Cerita gua dibaptis akan menjadi sebuah cerita yang unik untuk diperdengarkan terutama bagi teman-teman yang menjalani fase spiritual dalam kehidupannya.
oke kak, kalau di ajaran yang mirip, ya okelah ya..
tapi kata cowok gua yang Katolik, buat masuk Katolik itu susah banget, gua gak tau kenapa susahnya,
sampai kalo kata dia : kalo menurut gua orang masuk Katolik itu tandanya dia udah cinta banget.
dan lo.. ga gua sangka adalah orang yang masuk Katolik,
Sebuah pertanyaan dan renungan, for whom I present the eternal love? Gua saat ini lagi refleksi aja, bahwa suka cita dan rasa lega itu sudah menetap dalam relung hati setelah dibaptis. Sebelumnya gua menghadiahi diri sendiri dengan sakramen Baptis dan nama tambahan, Ignatius. Hadiah untuk diri sendiri yang meneguhkan diri pada kehidupan. Jawabannya masih gua rumuskan.
Belom gua detailing bahwa setelah baptis, hidup gua seperti berkat ke berkat. Mulai dari sakramen Baptis, kemudian misa Natal pertama, lalu terbaru adalah misa Arwah di almamater SMA dan paling baru minggu lalu misa offline di Paroki. Bahwa tidak bisa diingkari berkat itu adalah sebuah dorongan spiritual, meskipun ekspresinya gua banget : aih pengen dah misa offline, aih pengen gua misa Natal, aih aih aih..
Kadang namanya juga manusia, ada khilafnya - gua suka lupa : eh idup ai udah baru, hayo masa mau ambil template yang lama. Bukan berarti hal baik yang sudah ada didiemin tapi diolah demikian hal yang kurang ya udah gua lepasin biar tetap ada ruang untuk tumbuhnya sebuah dimensi iman. Dimensi iman ini dalam catatan gua ini ga bisa pake metrik apapun kecuali metrik Tuhan. Apakah iman itu panjang, luas, lebar, dalam, detail, gak tau, tapi yang pasti perlahan mengisi diri ini.
Hal unik selama ini sebagai seorang Katolik newbie adalah dimensi transpersonal dan metafisik yang gua alami selama berdoa atau saat misa. Jujur pas lagi eksplorasi hal ini, gua ketemu konsep spiritual obesity, dan ini menarik banget. Awalnya gua mengalami kejadian unik sebelum dibaptis, sebulan kemudian dan perlahan gua menanggapi dengan penuh khidmat. Kejadian unik itu berupa sebuah suara yang hadir rutin hampir setiap akhir bulan. Gua kira, ini sebuah fenomena metafisik tapi sepertinya ini adalah pengalaman iman yang unik.
Selanjutnya adalah sensasi metafisik, apakah gua ngeliat apa gitu. Nggak, yang pasti ini dimulai saat penerimaan sakramen Baptis. Kebayang kalau bahu kalian seperti diletakkan tangan - tapi ini gak hangat - kalau hangat pasti manusia. Ini ngga, sejuk dan cenderung dingin. Demikian saat beberapa kali misa, sensasi itu kembali hadir. Terlebih saat misa minggu lalu, gua sampe terkejut ditengah misa.
oh ini kali ya rasanya beribadah, flow statenya emang ga ada lawan.
Tentu termasuk dengan saat pengalaman misa offline selama pandemi. Secara unik gua ingin memahami aspek kesederhanaan dari umat Katolik, hal ini lebih ke tampilan fisik. Gua lebih melihat seorang Katolik Indonesia ya adalah tetep orang Indonesia. Adapun hanya berbeda saat ketauan nama lengkapnya. Semisal gua,
Kalo singkat : Bramantyo Adi
Kalo utuh full : Ignatius Bramantyo Adi
Kalo muke kita jelas medok Jawa wakakaka! Kaga ada elub-elubnya. Yes, baik gua sama wali baptis kaga pernah ketauan identitas relijiusnya kecuali.. pas udah bikin tanda salib. Demikian saat gua mulai kenal lingkungan. Jujur ai masih kagum sama kesederhanaan umat Katolik, sampe mikir, bisa ga ye.. gua bener-bener embodied kesederhanaan itu.
Gua sempet kebingungan eh abis dibaptis ngapain?
Sekarang gua udah mulai paham, lah ya abis dibaptis kembali ke campaign Mgr. Albertus Soegijapranata,
100% Katolik, 100% Indonesia
udeh itu aja dulu yang udah jelas-jelas.
***
Lewat Tengah Malam #2 - Februari : Mundur, Selesaikan, Melangkah
Proses healing gua berada pada tahap yang mungkin final stage, usia 20-26 tahun. Pada masa ini gua mengalami banyak dinamika dan mulai memahami kompleksnya hidup sebagai seorang dewasa. Cekibrot rekapnya,
Healing #1 : Usia 5-10 tahun
Overview : wah jangan ditanya gua ga nyangka mental gua saat kecil mampu menerima hantaman rasa sakit yang tidak terperi. Gua sebagai dewasa aja terenyuh dan langsung memberi bantuan. Visualisasinya adalah ketemu sosok Tyo kecil yang asli ga enak diliat, bukan masalah penampilan fisik tapi kok lukanya banyak. Layaknya anak kecil, dia belom memahami apa yang terjadi sama dirinya. Ia masih bermain dengan bebas, tetapi gua melihatnya pengen nangis : ini anak kuat banget yak, ga tega gua.
End up : butuh waktu, kebayang ngejar-ngejar anak kecil lari kesono kemari. Namun lari kesono kemarinya bukan karena emang anak kecil yang ingin bereksplorasi, melainkan anak kecil yang butuh keamanan. Dari Tyo kecil gua memahami, bahwa banyak hal fundamental tidak dipenuhi. Minimal kasih sayang, maksimal mungkin materi.
Hingga suatu hari, ia hadir ditengah gua yang lagi nyetir. Tyo kecil ini seneng banget mobil (lah ampe sekarang juga masih hahaha), menemukan bahwa masa depan seorang Tyo bisa mengendarai mobil dengan presisi adalah sebuah kebahagiaan. Sejak hari itu, pemulihan usai.
Healing #2 : Usia 11-19 tahun
Overview : sosok Tyo punya karakter nurture yang berdinamika dengan karakter dominan. Manifesnya jadi kebalik-balik karena absennya figur ayah, luka di usia sebelumnya, dan pengasuhan dibawah ibu yang sedang beradaptasi sebagai single mom. Secara unik, Tyo di usia ini gua duga nyerempet depresi tapi bounce back-nya oke. Kelebihannya memang kehidupan sosial sebagai remaja Tyo relatif sehat, malah rumahnye kaga sehat wakakaka. HUS TAWA LO, GILE LUPA APA PAITNYA (oh iye maap).
Namun hal yang paling gua highlight, pada usia ini gua either terbiasa or terpaksa melepas banyak hal fundamental yang menentukan arah perkembangan kepribadian gua. Semisal, saat SMA karena gua berpengalaman menjadi black sheep of the family, gua mulai terbiasa menjalankan sebuah matriks kapan gua fulfill buat ortu kapan gua fulfill buat diri sendiri.
Salah satu pivotal moment adalah saat usia SMP, gua kebetulan nyungsep dan hal itu dimanfaatkan oleh ortu gua buat : udahlah kamu tuh ga bakat olahraga. Lalu gua nurut aja, dan melihat oh iya gua mau masuk PL dan lain-lain dan sebagainya. Hidden agenda dari ortu gua secara terpisah adalah fulfill aspirasi mereka, yang nyokap mau jadi psikolog, yang bokap mau anaknya filosofis maksimal. Ya, adrenalin gua bisa menjadi bahan bakar murah buat mencapai kedua aspirasi itu.
Namun setelah gua memenuhi kedua aspirasi itu, bagaimana dengan perkembangan diri gua? Oh tentu neglection. Ciat!
Pada usia 12 tahun gua tertarik sekali sama bela diri Taekwondo. Setelah gua gali, ada dinamika yang sangat unik. Kalau didalami, karena ritme otak gua ga jauh beda sama anak di daerah konflik, maka secara otomatis sistem kognitif gua langsung mencari aktifitas yang memang baku hantam. Gua ga ngincer bisa jadi sabuk item, tapi gua ngincer apa rasanya rasa sakit yang bertubi-tubi itu. Ini gua duga karena imbas ya sejak kecil gua dihadapkan pada rasa sakit tanpa pemahaman bahwa rasa sakit itu bukan buat makanan sehari-hari.
Mungkin salah satu dimensi itchy tapi haha hihi adalah soal penampilan. Sialnya gua gak menemukan artefak foto alay gua. Cuma lucu juga sih ketemu gua jaman poni lempar dan mukenye culun-culun kopet gitu. Iye culun, sekarang, masih berani nyebut culun - kalo kaga dibanting :p. Tyo remaja ini layaknya remaja secara umum, pengen ada, pengen diakui, tapi dinamika dia terlalu kompleks dengan karakter nurturenya, manifes nurturenya, ga match sama konsep remaja laki ideal pada jaman itu.
End up : pada saat bersamaan gua memulai kembali latihan Taekwondo di usia 29 tahun. Gua saat itu hanya melihat oh butuh program aja (dan gua tau sebagai praktisi kalistenik bikin program haiya banget!). Jreng nongol dong dia, perlahan saat gua menerima sabuk hijau sosok Tyo remaja luluh-lebur. Tyo remaja sudah tenang mengetahui bahwa aktifitas Taekwondo yang sempat terhenti terus dilanjutkan oleh gua.
Enaknya healing remaja ini adalah, gua menjelaskan banyak hal. Salah satu yang gua jelaskan adalah saat Taekwondo. Gua menjelaskan, it's really fine, gua seneng bahwa kita balik Taekwondo lagi, gua seneng bahwa sekarang gua bukan hanya seorang dewasa yang berekreasi melalui olahraga, tapi fundamental fisik gua juga proper sehingga olahraga Taekwondo ini jadi semakin menarik. Sabuk hitam? Kalau Tuhan berkehendak, coba kita serahkan saja.
Mungkin sisi heartwarming dari fase ini adalah saat Tyo menemukan gua sudah dibaptis. Gua jelaskan bahwa prosesnya panjang, berliku, dan memang bukan semata berpindah agama, melainkan dalam perjalanan setelah mengucap gua ingin jadi Katolik, sebagai individu Tyo membutuhkan satu tools untuk memudahkan hidupnya ditengah dinamika hidup yang suka rada-rada.
Healing - recent day : Usia 20-27 tahun
Overview : ketidaktelitian adalah kata kunci untuk healing pada usia ini. Diawali dengan misinformasi mengenai profil karir sebagai perwira psikologi kepolisian dan berbagai metrik mengenai 'apa sih sosok terbaik untuk negara' yang rupanya tidak satupun terpenuhi oleh Tyo di usia ini. Perasaan kecewa, tidak berdaya, depresi (lagi-lagi nongol) adalah key performance indicator untuk healing pada usia ini.
Layaknya seorang dewasa, ide dan idealisme kerasnya melebihi mineral apapun yang ada di dunia. Tyo, saat itu masih terus meraba dan setengah nekat karena informasi yang dikumpulkan sangatlah minim. Ketika aspirasinya tidak tercapai, tentu ia menganggap adalah akhir dari segalanya.
Gua pribadi jujur, saat sosok Tyo di usia ini hadir. Biasnya gede banget, gua mudah relate. Karena ga jauh usianya. Namun ada hal yang gua sadari bahwa perasaan kecewa, tidak berdaya, lalu depresi yang begitu kental membuat gua paham oh ini kayaknya gua di usia segini nih. Saat ini gua sedang menggali, aspirasi apa yang dibutuhkan Tyo, apakah ia bisa berserah bahwa profesi yang ia inginkan itu butuh persiapan nyaris seumur hidup.
Hingga saat ini, Tyo mengungkap selama hidup ia belom pernah merasa berkecukupan. Kadang itu kata kuncinya mengarah jadi orang kaya, punya banyak uang dan kalau mau ngapa-ngapain bisa pakai uang sendiri. Bahwa, kemudian ia menerima informasi mengenai karir yang membawanya ke malapetaka hidup lainnya adalah sebuah informasi yang tidak utuh. Informasi yang hanya : coba aja daftar pakai dengkul. Sementara konsep keamanan dan pertahanan negara di era Tyo saat itu lebih dari soal daftar pakai dengkul. Sudah wahid sekali.
Tyo adalah seorang anak muda medioker yang udah masuk struktur sosial meritokratik sebagai kausalitas ia menjalani pendidikan di sekolah Katolik. Gua akui, sepak terjang Tyo saat itu luar biasa, dia menggunakan adrenalinnya yang penuh buat melengkapi informasi, meskipun 100% bias dan tidak akurat. Hal yang sangat gua apresiasi saat itu adalah Tyo bisa, tapi mungkin ketajamannya aja belom bagus. Lantas dengan kemampuan gua saat ini, gua pengen re-mapping lagi.
Ketika bertemu Tyo di usia 20-27 itu kadang bikin ketawa sendiri juga. Apalagi kalau gua inget pemilihan nama Ignatius sebagai nama baptis. Sesungguhnya linier sama 'api hidup' yang lagi gua nyalain saat ini.
Tentunya fase usia ini adalah fase yang tricky, Tyo butuh pemahaman bahwa informasi yang ia terima adalah sebuah kekeliruan. Gua hendak mengajak Tyo lebih teliti lagi. Sementara itu dulu yak.
***
Lewat Tengah Malam #3 - Februari : Hadiah untuk Tyo
Malam ini gua bahagia banget mengetik di sebuah laptop. Lah kan lo juga tiap hari depan laptop yo. Tahan dulu, karena malam ini gua mengetik blog ini di sebuah MacBook Pro - laptop idaman gua sejak SMA. Baru bisa kebeli sekarang, second, lalu gua tetiba malem ini pengen berbagi cerita yang ya mungkin menghangatkan siapapun penemu entri blog ini. Kali ini bertema soal hadiah untuk keadaan yang kian pulih.
Hadiah #1 : Sakramen Baptis untuk Tyo
Saat usia 18 tahun gua bilang ke bruder di sekolah bahwa pengen pindah agama menjadi seorang Katolik. Bruder gak ngelarang tapi gak ujug-ujug ngijinin. Entah pegimana sebagai rohaniwan beliau mengetahui bahwa fondasi hidup gua apalagi agama itu acak adut. Saat itu gua nurut, nurut arahan beliau ya mungkin akhirnya gua tidak kuliah di Atma Jaya dan memilih Paramadina kemudian bisa ketemu banyak role model yang baik untuk seorang agamis, bahkan scholar.
Namun, gua berasa grappling selama itu. Banyak penyangkalan dan yaa perang batin lah ya, yang tidak gua ceritakan kepada siapapun pada tahun segitu. Makanya pas taun lalu, gua ngepost dengan gitu di Instagram, pala orang-orang yang kenal gua circa 2010-2020 pecah semua. Lagi-lagi, mereka gak berhasil mengungkap kegundahgulanaan gua. Dalam diam, kegelisahan gua ditemani internet mencari berbagai informasi soal perjalanan spiritual. Terlebih, setelah gua ke psikolog 2019, psikolog menitip pesan bahwa depresi yang gua alami bukan depresi yang relapse - melainkan jiwa gua yang hilang perlahan mencari tempat. Susah banget ya, padahal gua orang psikologi dan mempelajari cukup mendalam soal dinamika individu.
Salah satu tahap kritis menjadi seorang Katolik adalah masa simpatisan, ya kebetulan aja gua lama di sekolah Katolik jadi kulit luarnya udah apal luar kepala. Namun pas tiga tahun lalu, masa simpatisan itu semakin kuat panggilannya, awalnya karena gua menelusuri kembali riwayat berdirinya almamater SMA. Semua itu mulai terdorong ke pencarian dan kerinduan sama sosok-sosok dari lingkungan Katolik. Sampai kegelisahan itu memuncak di tahun 2020 dan dua orang temen gua jadi tempat curhat. Jadilah pada akhir 2020 gua memulai fase Katekumen sampai dibaptis pada akhir 2021.
Hari itu ketika disapa dengan nama baptis, rasanya seneng banget. Cuma gua merasakan sensasi bahagia bukan cuma milik gua saat ini, baru hari ini gua ngeh, oh iye, masih ada Tyo di usia 18 yang akhirnya berhenti ngedumel kenapa dia belom boleh begitu aja menjalani fase Katekumen. Jujur gua sangat bersyukur ketika memilih Katolik perjalanannya mulus, tidak menyisakan hal nyangkut dan kalau kata muslim sih hopefully istiqomah.
Sakramen Baptis secara umum udah luar biasa, gimana sakramen itu jadi sebuah hadiah buat seseorang yang udah menunggu sekian lama. Rasanya sudah dipastikan warbiasa khan maenn. Salah satu kepuasan hidup adalah bisa memulihkan luka lama dan align antara siapa gua kemaren dan siapa gua saat ini.
Hadiah #2 : Taekwondo (lagi..) buat Tyo
Gua mungkin belom berhasil menurunkan berat badan dengan berlatih Taekwondo - karena tetep turun BB gua kali ini harus diatur makan dan istirahat dan juga *cekikikan* stress. Saat ini gua masih berlatih Taekwondo karena udah dapet flow sebagai aktifitas rekreasi, tapi menariknya adalah eh luka jaman abege ikutan pulih hihihi!
Kalo gua merekap insight penggalian jaman gua SMP. Insting abege gua mengarahkan untuk menekuni Taekwondo. Sayang, ortu gua ga setuju - meybi pengalaman kakak gua yang main bola mulu sampe belajar ga lancar padahal udah tau sekolah di sekolah Katolik. Namun kemudian gua tahu bahwa ortu gua sendiri adalah dua orang dewasa yang menunggu anaknya tumbuh kemudian semua aspirasi nyang belom sampe, dilimpahin ke anaknya. Gua kira, itu bukan luka, tapi rupanya luka batin. Pemulihannya gak lama, karena terakhir gua nemu catatan di buku Taekwondo sabuk terakhir adalah kuning strip hijau, saat tingkatan itu selesai, pulihlah sisi abege gua.
Setelah sabuk hijau sampai seterusnya ya gua fokus pada objective awal berlatih : latihan interval dan kaki. Hal paling menarik adalah saat gua mendapat medali dalam dua pertandingan tingkat yang berbeda. Jujur gua sampe hari ini deg-degan setengah mati setelah dapet medali itu, dua medali perunggu. Lega banget rasanya bisa healing luka lama, untuk kedua kali.
Hadiah #3 : MacBook Pro
Ketika SMA gua beli sebuah buku tentang MacBook dan bener-bener pengen banget punya MacBook, saat itu harganya aja (tahun 2009) udah 11 juta sendiri buat seri MacBook Pro. Setelah itu gua emang punya laptop pribadi buat kuliah, tapi gua gaya-gayain kaya Mac, hahahhaa! Lalu tahun berselang gua ga peduli gua punya laptop apa, yang penting bisa buat stimulasi kreatifitas gua. Laptop semakin canggih, dan gua udah kaya hidupnya ga bisa misah sama laptop, gua ga peduli mau Mac atau Windows, bebas.
Hingga suatu hari gua tertarik banget beli Mac, karena harga Windows based itu kurang value for money banget. Meskipun dalam perkembangannya Mac juga gak bagus-bagus amat, ada aja yang kecewa. Kebetulan banget, Pak Kiki, walibaptis gua suatu malam bilang : pak ini ada MBP nih, budgetnya segini, mau gak? Tanpa pikir panjang, gua sikat, beneran gua sikat langsung transaksi. Setelah nginep di tempat walibaptis hari ini baru gua terima. Gua sama walibaptis terkesima sama performa si MacBook Pro, unit gua sendiri adalah versi 2011 tapi bisa melampaui kemampuan laptop gua yang almarhum keluaran 2017. Pecah shob!
Namun, malam ini saat gua mengetik di MacBook, ga sengaja gua bilang : ini buat lo yo, di 2009. Sori butuh waktu lama, next gua akan berusaha seoptimal mungkin buat dapetin apa yang lo butuh, yang kemaren tertunda. Bedanya sekarang gua kudu melibatkan doa, karena permintaan lo selanjutnya itu membuat gua mikir, itu bukan buat lo.
btw MacBook Pro gua spesial lho,
Mac OS X Chonkonabe
lhooo kok kaya piaraan ai, si Chonkonabe
ini Chonkonabe, harbor seal yang gua adopsi sejak 2020 dan ini... MacBook Pro with Mac OS X Chonkonabe Spec. Edition (tuh liat wallpapernya aja anjing laut) ngahahahahhaha! Oui! *** |
Komentar
Posting Komentar