Dailyblog #5 - Agustus 2021

Sup Instan untuk Jiwa Medioker : HUT Republik Indonesia 76 Tahun

Gelitik Genetik : Masih Pribumi? 

Nyokap itu haqqul yakin baik almarhum bapak dan ibu belio bukan sepenuhnya keturunan Jawa. Melainkan keturunan Timur Tengah (beneran Timur Tengah, bukan Jawa Timur atau Jawa Tengah). Kalau gua lebih yakin, muke gua udah muke urban yang udah terkontaminasi sama skinker dan beberapa produk perawatan tubuh karena tuntutan kerjaan.

Kalo mau tulen, menurut gua, keluarga bokap jauh lebih Jawa secara fisik (minus bokap yang tinggi ya, secara bokap eke tingginya 183cm, gua merasa cupu dengan tinggi 179cm ini) : kulit sawo matang, hidung kesep alias pesek dan cenderung ektomorf alias ceking. 

Sementara keluarga nyokap udah lebih hybrid lagi : kulitnya range dari sawo matang - kuning langsat, hidung lebih mancung, badannya antara mesomorf-endomorf (yang ini gua rada percaya bukan turunan ras Mongoloid), dan tinggi badannya 165cm minimum - kecuali nyokap karena sempet malnutrisi - soalnya kalo liat pakde-bude gua itu keliatan mereka well-nourished pada masanya.

Kadang mikir juga kalau dari nenek moyang udah campur aduk, ya agak ajaib aja dengan terms pribumi. 

*naikin bahu* 

Kayaknya Indonesia udah se-hybrid itu secara genetis. Agak absurd kalau ada rasa terlalu bangga nyebut 'pribumi' karena keturunan suku asli di Indonesia that used too often, bahkan hari ini gua seneng denger ada istilah Chindo atau Chinese-Indonesia. Jadi kebanggaan bukan milik gua semata, tapi siapapun yang udah resmi punya NIK di Indonesia. 

***

Masih Adakah Nyang Mudaan Bisa Sopan Santun?

Manners

Maketh

Man

itu sebuah frasa populer dari Kingsman Service - pelem spionase yang kaga spionase amat. Komedi bahkan, tapi namanya komedi kalo ga ada pesan yang kuat, bakal jadi cheeky. Gua sebagai yang kejepit bukan kejepit nasional atau kejepit nikmat (eheu) seringkali ditanyain : 

secara psikologis yo, kenapa anak jaman sekarang gak sopan? 

Pertanyaan yang kiranya spesifik tu sesungguhnya masih vague dalam cernaan gua. 

Karena kalo ngomongin moral development, ada komponen ini : 

ortu : apakah ortunya sendiri sudah menerapkan standar moral? Kalo belom, atau lost sight, ya babay. 

pergaulan : apakah pergaulan sendiri hangat - artinya ada saling menghormati selain solidaritas sesama peer 

diri : apakah anak ini aspirasinya bisa sopan? 

lingkungan : standar moral dari ortu ini berlakunya gimana? Cuma satu tempatkah atau berlaku ke semua. 

peran dewasa : apakah kita juga bisa menghormati, minimal nahan ga bilang 'yailah bocah'

patron : selain ortu, individu dewasa, patron atau panutan si anak soal moral ini ada? Atau dia cuma dibikin 'idolizin' yang cenderung blindfold. 

Ketika gua balikin dengan paparan ini, jawabannya udah unspoken aja. Adapun gua sebagai dewasa juga punya tanggung jawab dalam berperilaku ke bocah-bocah yang considered gak sopan ini. 

***

Donor Darah, Seenggaknya.. 

Banyak orang yang ingin jadi pahlawan karena begitu kenceng soal narasi heroik pahlawan sampe group age gua. Sayangnya, yang kurang dipahami adalah terdapat interface dan integrity akhirnya bikin orang satu per satu mundur teratur; atau mengesankan 'kayaknya ini kelamaan'. Perang udah beda tren, tapi humanitarian work gua rasa belom ganti trennya. Jaman gua neliti peacekeeping staff untuk daerah konflik hal yang ditangkep antara lain : they cool, reaalllyy cool. Definisi adrenalin tersalurkan. Namun dari sosok ini pernah nanya : have you donate your blood? Gua jawab : regularly. Lalu dia bilang : then you the unspoken heroes, mind that. Urging to receive your medals?

Gua sejak saat itu bisa aja ngepas jadwal donor darah, bisa tiga bulan sekali kadang paling lama enam bula sekali. Gua kira donor darah ini sebuah aktifitas yang normal, tapi rupanya ga semua orang bisa ikut. Jadi been lucky, kalau setiap donor gua berhasil terus lewatin tes medis. Ada juga yang takut sama jarum, dan lainnya. 

Kejadiannya 17 Agustus 2021 gua mestinya istirahat seharian tapi terpaksa nyari setengah hari di PMI Pusat buat donor darah terlebih tau rhesus gua dibutuhin. Pertama kali gua liat PMI membludak dan mengejutkan tenaganya kayak dikit banget (gua juga ga bisa jelasin kenapa tinggal segitu, seingetan gua dulu tenaganya bisa banyak banget) alhasil gua masuk jam 10 pagi dan keluar jam 3 sore. Sisi lain, gua cukup puas bisa donor darah. 

Cuma gua kepikiran, mungkin juga lagi covid 19 dan nakes udah gak tau berapa banyak meninggal. 

***

Memahami Indonesia Luas, Hingga Tampilpun.. Ga Keliatan

Gua adalah salah satu profil dari sebuah generasi yang 'lahir bersama internet dan tumbuh bersama internet' - kurang lebihnya demikian. Saat lahir udah ada world wide web, saat sekolah udah mulai kenal e-mail dan internet broadband, saat kuliah media sosial udah kenchyang, saat ini.. gua cukup pake satu smartphone dari baca koran sampai nonton film serial kesukaan. Tentunya internet ini shifting-nya kenceng banget. Pada 2010 handphone gua hanya Nokia E63 longsoran, itupun udah keitung fancy, SMS adalah instant messaging andalan. Tepat 11 tahun kemudian, instant messaging gua udah beragam dari LINE, WhatsApp, Telegram, Flock, Slack yang masing-masing beda fungsi. LINE, WA - buat ngobrol sama temen akrab dan komunitas olahraga; Telegram buat yang higher order karena aksi berbagi PDF terjadi di sini; Slack terus Flock ya apelagi buat kerja. Demikian media sosial, gua masih mengalami gimana menyenangkannya kustomisasi Friendster, nikmatin wall Facebook, Twitter masih 150 karakter dan oh iya, blog. 

Namun beda sudut pandang seiring usia bertambah. Pastinya saat remaja gua pengen banget terkenal kaya Raditya Dika nulis keseharian doang bisa jadi buku. Sayang hal yang gak bisa gua tembus adalah : apakah temen-temen gua bersedia namanya diinput dan jadi ketawaan satu negara. Itu pertanyaannya. Lalu gua urung, dan perlahan sibuk kuliah, depresi, sibuk kerja, plus pernah mis-utilized blog sebagai sebuah komponen asimetris :p. Akhirnya gua baru bisa mendapat sudut pandang penulisan, I can't tell who is in my ring 1. Berakhirlah di sebuah sudut pandang yang lebih reflektif. Namun, gua pribadi pernah menerbitkan beberapa tulisan yang konsepnya populer - kalo dibaca ulang sih menurut salah satu mentor gua lebih cenderung cheesy dan cheeky. Ya gimana, segmennya aja remaja sama dewasa. 

Gua kembali blogging karena dalam keseharian udah mengalami perkembangan psikis yang unik. Dunia mulai kebalik setelah lulus kuliah, dari seorang Tyo yang terbuka menjadi seorang Tyo yang gemar nanem ranjau digital :p. Sebel, sebel, tapi gua pribadi belom tau sampe kapan akan open gate. Gua sendiri berasa jadi sebuah kedutaan besar, yang menerapkan banyak perimeter dan protokol buat siapa nyang mau masup. Kemarahan orang-orangpun berubah dari : ah elo berisik menjadi yo, plis yo open your mouth. Akhirnya gua kebiasa manage media sosial, kalo mau nemu lebih dalem ya lo bisa nemu di blog ini, kalo mau yang haha-hihi pilih aje mana medsos gua. Alhasil, banyak yang kepleset dalam memprofilkan gua dan mayoritas gagal dalam memprofilkan gua. Karena gua beneran menerapkan sebuah konsep kepribadian, tailoring many aspects into one form. 

Selanjutnya, gua sendiri saat ini belom punya niatan buat lebih establishing my presence pada jagat digital. Gua mencoba memahami dulu : do the fame will fulfill myself. Yes, that's essential. Meskipun kalo sekeluarga besar, yang paling utilize medsos ya gua.. hahaha! Mengenai presentasi sebagai user media sosial. Gua tidak munafik bahwa eksistensi individu saat ini udah kebantu banget dengan algoritma media sosial. Sebut aja, selebtweet, selebgram, selebtok, everyone can be celebutante alias celebrity debutante - lo ga harus jadi pekerja seni tapi just doin' things in social media is more than enough. Pertanyaan berikutnya : do you comfort when people acknowledge you? Nah itu, masih 50:50. Kadang nyaman, kadang kagak. Selanjutnya semua itu berdinamika dengan perkembangan media sosial saat ini. Sampai gua kadang bisa dibuat iri, wanjir bisa dapet followers, bisa dapet exposure, dan lain-lain dan sebagainya. Namun metriknya ini menarik, gua punya metrik #1 : lo gak bikin apa-apa, cuma expose atau over expose diri lo siapa dan ketemu sama algoritma yang cocok; atau metrik #2 : lo bikin sesuatu karena lo ahli atau piawai dan lo dapet panggungnya. Dua metrik ini jadi referensi gua dalam menentukan : will I walk my way to digital stardom? 

***