Daily Blog #7 - Februari 2021
Slow Response is Gewd
Gua terbiasa sejak punya handphone akan cenderung fast response. Namun within last couple years came my comfort zone : slow response. Pas tau beberapa grup yang gua ikutin peran gua sebatas penonton alias spektator.. mending gua masuk, gua matiin notifikasi, dan hidup tenang. Yes, termasuk grup keluarga.. hahaha! Awalnya gua cuma matiin notifikasi medsos jadi semua chat ga ada yang masuk, sampai akhirnya yang aktif cuma notifikasi e-mail sama instant messaging kantor.
Makanya gua merasa santai, gak ngecharge handphone setiap saat setiap waktu, pas waktu luang aja (ya itu kapaannn) gua buka chatnya. Cuma belakangan mungkin ada selentingan obrolan "Tyo udah gak se-fast response dulu" dan seringkali "hah gimana? Boleh diulang?" nampak gua gak merhatiin obrolan, tapi kadang gua sendiri kalo bales chat selalu ringkas dan lugas serta gak ngurangin konteks pembicaraan. Mungkin bagian lucu adalah ketika temen atau siapapun coba chat gua mereka berusaha meringkas chat-nya. Berakhir gua nanya "hah gimana?".
Lalu gua suka mulai kena dibilang "lo ga buka chat?". Gua nyengir, lalu menggeleng sambil buka handphone pake face-lock. terus masuk buka chat.
***
Priority on Community (Again..)
Nanti malem gua ada diskusi sama ketua komunitas kalistenik Streetworkout Velo, Andhika. Mau ada partnership ceritanya ntu komunitas sama Nutrifood. Terus gua baru ngeh gak ngerespon ajakan buat jumprope -- iye soalnya gua sejak awal udah bilang sama Lutfi kalo gak akan sanggup keep up sama komunitas jumprope, ngeramein aja pas lagi sepi, pas udah rame ya udah gua kembali ke fokusnya.
Iyes, demikian dengan Streetworkout Velo, gua bukan setaun dua taun urusan organisasi atau komunitas. Gua memahami bahwa komunitas yang audiensnya lebih muda pasti butuh exposure tapi gagap soal gimana maintenance soal duit. Sementara komunitas yang umurnya sama, udah konteksnya cus tau sama tau. Streetworkout Velo, konsepnya memang komunitas olahraga pro-bono, lo gak perlu bayar iuran, dateng dan disiplin lathan itu iurannya. Namun yang selalu gua dibikin ngakak adalah kegagapan mereka dan ketemu sama realita yang ya gitu perihal mengurus sebuah komunitas. Mulai dari social media experience, first time response. Berhubung eke udah kenyang ya shay urusan pimpin-memimpin, jadi gua cuma gawangin awal-awal aja abis itu gua lepas. Iyalah, masa gua kekepin, itupun gua udah shout out "woooyy udahaan yaaaa masaa guaaaa, masaa kleaan sekarangg!".
Tidak bohong bahwa mengurai benang kusut organisasi adalah pengalaman traumatis bagi siapapun yang pernah punya posisi either board of councils or director. Lo ketemu banyak kerewelan orang-orang, lo harus lihai berkomunikasi, dan tidak sekali lo mesti ketemu orang yang super idealis bin merasa these things are wrong, lemme do it my way and save the world.
hey kawan, nonton Power Rangers boleh aja tapi kalau intoxicated save the world sini gua kasih lagu Swedish House Mafia ngana.
Pengalaman gua, salah satu ter-epik adalah pas jadi ketua himpunan mahasiswa. Gua melihat gimana kusutnya perpolitikan kampus dan orang-orang yang mungkin mau jadi petarung UFC tapi kaga punya nyali penyokin badan jadi mending adu penyok strategi. Lalu gua memahami bahwa ya kusutnya politik Indonesia, kurleb ada cerminannya di peta politik kampus. Mulai dari LPJ gak diterima lah, kinerja dibilang gak bagus lah. Padahal, gua yang double job selain jadi ketua juga langsung diangkat jadi internal affair (sistem student council kampus gitu, jadi ketua himpunan mahasiswa per prodi udah pasti jadi internal affair, lo bingung apa itu internal affair, pernah denger Provoos atau Paminal? Pengamanan Internal? Yes, gua bertugas bat my eyes ke manuver-manuver pemimpin tertinggi senat mahasiswa) sejauh itu baik-baik aja. Sejak kecil gua gak tertarik perihal politik, karena ya pada akhirnya cuma satu orang aja jadi summon bonum. Lalu, ga ada cerita-cerita proses things getting better throughout the years. Yes, it was happened pas jadi senat mahasiswa.
Pada nalar gua, yang kebetulan lulusan SMA khusus laki ter-ngocol dan ter-eshole dalam sejarah pendidikan Indonesia. Kelakuan-kelakuan kocak mahasiswa even politician itu ya simply things yang bikin gua bilang : ya namanya juga orang. Semasa SMA, idealnya, friksinya akan lebih maksimal, laki semua, biji semua, kontlo semua, hot head semua, testosteron pada gaspol tertinggi, but what actually happened? All good, dan udah jadi 'ciri korps' alumninya. Lalu dengan latbel sekarang gua menalar, what did not serve the plate between school and university?
may I call it patriotism?
Gua belajar gimana jadi energetic by behavior, attitude and words dari konsep patriotism selama SMA. Bukan sebatas self-concept, patriotic self-concept semasa SMA. Bad news, sekolah gua bukan sekolah yang based on military hereditary or stuff. Namun biarawan sepertinya cukup visioner mengenai gimana sekolah ngebentuk sesosok laki-laki yang adaptif di masyarakat. Ya jeleknya sih gua orangnya ga suka kompromi, apalagi nego-nego :p. Fix or I fixed. Hal itu gua bawa diam-diam semasa kuliah sampai saat ini. Many ups and downs, rata-rata sih responnya ga jauh-jauh dari urusan "kok bisa ya dia?". Ya bisa lah, kenapa nggak?
Though you couldn't force patriotism during your uni-year, tapi seenggaknya bukan tipe hot-head ngajak berantem satu kampus yang merasa crossing your idealism Emmm, gua sih berantem pernah, suka kok, tapi bukan soal crossing the idealism, tapi pengen tau if someone can pour the blood, it's fresh or not? hihihihihi. Within those dynamic, gua juga melihat sisi bahwa banyak orang yang melihat pihak pengurus atau senat ini kalo ga "antek-antek dosen ama kampus" atau "mainan anak-anak idealis yang baru keracunan buku Karl Marx ama Nietszche". Sh*t happened as well, saat masuk komunitas. Hal ini membuat gua coba cek apa yang perlu gua kerjakan, sebagai ketua, sebagai 'pembokat mahasiswa' dan gimana komunikasinya. Ya itung-itung berarti gua udah biasa mendesain experience dan interface soal manfaat senat. Indirectly, can't deny, that's diplomacy.
Pas masuk komunitas gua udah ga kepengen deh harus deal with kepengurusan. Namun apa daya, jam terbang tyda bisa bohong dan bukti forensik jelas. In terms "oke bantuin temen" sampe sekarang gua masih 'menghadap' karena urusan partnership dan berbagai kosakata bin aspek legalnya. Pernah sekali ngebahas kenapa ga bikin konten yang simpel-simpel, gua bales lagi dengan santai : tenang ketuanya ada visual planning kok, ikutin ajee. Pengalaman gua jadi internal affair membuat gua melihat sebuah situasi, bukan lagi soal orang atau aktifitasnya. Makanya jawaban-jawaban simpel itu gua bisa keluarin dengan referensi : sikonnya begini ya bunda..
Gua suka ketawa juga kalau orang sibuk berkata vibe. Iya bund, vibe, minuman alkohol itu kan?
oh bukan.
Semisal kaya sekarang gua lebih remain silent kecuali ada hal yang harus gua omongin di grup kepengurusan. Kenape? Biar yang lain keliatan kerjanye. Vibe ini bisa given bisa nurture, gua tipe yang nurture, alias akika bikin sendiri shob. Hence-crot, kadang namanya organisasi jadi lahan basah buat orang-orang mejeng. Gua garuk-garuk kepala sih soal ini. Belom lagi urusan mentalitas yang "ah gua takut ide gua gak sempurna" rupanya sudah mendarah daging. Sisi lain gua memahami tidak semua orang ada pada sepokat gua yang nobody gives a sh*t about you, so you can sh*tting your creativity as much as f*ck. Makanya gua setiap bikin konten asumsinya adalah : emang ada yang nonton? Gua bikin ah, I do it with happy and pleased. Terakhir adalah mahzab feodalisme basian penjajahan Belanda yang telah mengakar. Simpelnya : mau enak tapi gak mau coba proses.
jujur ini gua udah males ngomong sih.
Kalo gua ngomong nanti dikira penyalahgunaan ilmu cikolohih :p.
unfortunately am an urban mediocre who work his ass hard to earn good lifestyle, and no d*ck that good when you enjoy the lifestyle after you work real hard.
setelah gua bercuap-cuap panjang-lebar ini. Belakangan gua memilah mana yang perlu gua prioritaskan, setelah diri sendiri. Semisal, komunitas jumprope, in fact it is growing kok, gua gak nyesel-nyesel amat dulu bilang : well I ain't in, I ain't put anything, but if you need accompany, I'm here -- udeh abis itu kalo udah berkembang ya gua tinggal gila, dikira gua gak punya banyak hal lain ape yang perlu dikerjain wakakaka. Demikian kalistenik, militan gak? Banget. Gua sadar bahwa prioritas idup udah beda, dan gua dengan santaynya 'waving goodbye' wakaka. Karena buat gua udah ada yang steady gantiin, and let them do their jobs.
Jujur yak, gua emang se-selon itu kok. I ain't intend disliking communism or over-worship individualism.
Amen to that about if you go alone you can sleek fast, if you go together things may be faster.
dan mengenai skena komunitas olahraga dikalikan dengan badan gua = hahahhaa jangan ngelawak deh lo yo.
Yes, secara gua lagi gede banget, mending ai ngumpet dulu semedi ampe singet.
polusi di Indonesia termasuk polusi visual, yu no.
***
PERIHAL USIA
Gua udah gak pernah ngitung seberapa tua gua sejak usia 25. Semalem, sertifikat ujian sabuk baru gua ambil karena baru sempet latihan - soalnya kemaren gua ada reporting dan annual review. Gak sengaja nih keliatan ama Pesti - temen latian - terus diperhatiin bener-bener,
"RESZ! TENANG LO BUKAN YANG PALING TUA DI SINI"
gua melongo, wakakaka
"OM TYO OPKORS YANG PALING TUA HAHAHAHA"
gua ikutan ngakak,
Jadi, setelah umur 25, gua gak pernah ngitung umur kecuali pas lagi cek medis. Pertama, pas ultah udah ga diucapin umurnya berapa. Kedua, gua juga ya nambah skincare deh biar bersih - kayaknya yang bikin dekil karena gua gak ngerawat komuk sih dan gemuk. Bukan berarti gemuk pangkal tua, tyda, tapi gak bugar keliatannya. Terus sama, pakaian ya gan, tolong, punya duit jangan dikekepin aje. Beli baju-baju gak usah edgy tapi keliatan simpel, favorit gua kaos polos warna-warna pastel, gelap, ama chinos, udah abis itu pembawaan ga usah sok tua. Cuma keliatan tua pas ngeliat suatu masalah, dan berujung "sori mas umur lo berapa?".. eh tercyduc berapa usia saya haik haik haik haik. Jangan lupa, selalu stok komplotan receh, dosis gua soal humor itu melebihi pemakaian narkoba di negara manapun pokoke dosis tinggi banget deh.
Itu bagian muka,
Bagian dalem, sepertinya gua dulu menua karena arah hidup ga ketauan. Oke, kalau dibilang "lu kan dulu pen banget tuh jadi forensik" - nah itu pertanyaan gua tanyain balik, "is that you need?" - sekarang jawabannya : emoh, alias nggak. Karena bukan itu tujuan idup gua, tujuan idup gua ya jadi orang kaya, duit, duit, duit, hahahaha! Money can't buy everything, but leveraging everything, yaasss homie! Terakhir ini yang lagi terus berkembang, emerging ceunah, spiritual. Don't know where to start, soal cerita ini yang pasti gua paham bahwa setelah mental gua mulai gua kenalin, badan juga, perlahan spiritual ini mulai nyolek-nyolek. Pada Desember 2020 kemarin gua udah memutuskan sesuatu yang fundamental buat spiritual gua and it may bring good vibes for me.
Kalau dibilang : yo udah nyari duit doang? Lalu gua jawab : ya yang gua butuhin semua butuh duit, ya masa gua nyari ribut.
eheu!
***
Komentar
Posting Komentar