Daily Blog #7 - Januari 2021

 The New Normal of Social Media - an Insight of Cyber Interaction : A Guide for Common Ground People Like Me

duh gua monmaap kalo nulis judul enakan pake Bahasa Inggris. Kali ini adalah insight atau pentjerahan mengenai 'kebiasaan baru' dalam berinteraksi dalam media sosial. Karena banyak hal yang bikin gua gerah tapi sisi lain its EULA gak dilanggar, simply para pengguna ini memang merasa mereka dikenal jadi perlu ada selubung untuk dirinya. 

Jujur gua awalnya gerah, who the hell are they tap in to my conversation without any further intro. Cuma hal yang gua amati adalah : ga semua orang bisa kaya elu yo. Ya emang sih, sanggahan gua lebih ke : kan lo orang-orang biasa, bukan centang biru atau pil biru akunnya. So be normal. Namun kalau inget jaman kuliah, ada konsep being, atau keberadaan orang ini manifesnya banyak. Being ini pada setiap manusia ada, pengen dibilang : HELLOH I AM HERE POPLE! Tyda terkecuali gua. 

Namun dalam perkembangannya, ada metafor dunia itu sempit dunia itu luas. Nyang dimana diskursus dunia itu sempit banyak diamini oleh orang-orang dan dijadikan sebuah perspektif pribadi. Hal ini mempengaruhi gimana mereka membentuk diri di media sosial. Mungkin bagian yang syedih adalah kebanyakan saat ini pengguna medsos gak paham soal how to establish a safe virtual environment. Berujung pada menjamurnya akun alter, anonim, dan orang dengan poto-poto yang disensor mukanya. 

Satire gua mengatakan ; koruptor aja nyengir kok mereka nenggak duit belasan milyar, kok lu yang kaga punya catatan kriminal ngumpetin muka. Sayangnya, dari gaya bahasa atau ekspresi mereka menyiratkan buat berinteraksi di jagat digital Indonesia harus memenuhi syarat-syarat berikut : maskulin yang mencakup badan yang cukup atletis, bahu lebar, tangan kekar, dada bidang, rahang tegas, kata-kata yang memberi semangat ala-ala patriot.. 

oke. 

Gimana ceritanya lo pengen punya banyak kenalan tapi standarnya udah segmented. Gak nyampe di konstruk otak gua soal interaksi. 

Sisi lain mereka ingin diakui, minimal dibilang cakep, atau 'look good'. Sisi lain yang ga kalah dinamis adalah saat ini angka followers menjadi sebuah figur otoritas dan approval. 

bentar, ini idup gua kelewat lempeng apa gua sesungguhnya punya privillege bejibun tapi gua gak ngeh. 

Sisi lain adalah hukum alam digital yang mempostulatkan : dahulukan pengguna yang lagi naikin followers. 

whoa, does this road or what? 

Gua pastinya ga sampe nanya : lah elu kenapa ngumpetin muka? Namun dalam obrolan-obrolan mulai mendalam terungkap bahwa hal-hal ini membuat mereka menyamarkan muka : 

- circle profesional yang sempit dan rawan gibah

- circle keluarga yang sempit banget dan lebih parah gibahnya

- mereka menganggap muka mereka ga standar pasaran saat ini (which means berubah-berubah ya standarnya) 

- beberapa perilaku akun-akun mega yang ngeliat akun-akun ini 'ah apaan sih?', gitu.. <-- oke ini keliru di akunnya sih

- needs of anonimity sebagai dewasa yang kebanyakan identitas

Guapun punya journey tersendiri kalau udah ketemu pengguna medsos macem ini. Kalau kurang jelas, ya maap, saya juga gak respon. Kalau cuma tap in-tap in obrolan dan belom ada similarity atau proximity yang mepeeet banget, ya will find it later

Sisi lain, akhirnya gua bikin filter, what makes me say ok let's have some cups of coco drinko.

- at least us have some activities like sports, yes.. aktifitas ini memungkinkan banget kita jadi ngobrol banyak, our experiences, etc. bahkan akhirnya kita sparring. 

- have bold thought, ga perlu filosofi senja, ada hal-hal sederhana soal hidup yang mereka utarakan lalu gua discuss bareng

- ultimate sh*tpost, dang son! Come to papa if you have loads of it. 

Tidak lupa gua mengucap terima kasih atas pujian mereka bahwa cerita gua comfort them, evoke them, sampai akhirnya mereka bisa bikin cerita sendiri. Bikin cerita itu kadang perlu naratif, kadang perlu emosi, kadang ya udah apa adanya aja. Setiap cerita kalau templet alias gak berdinamika, siapa coba yang mau baca, ehe. 


***


The Turmoil : The Social Media Behavior Led Into Rat Race Among Adult Peers

I am on my utmost joy acknowledging most of my friend now lead their own social media with loads number of followers and become another digital epicentrum of a thing. Mostly, olahraga. 

Namun, ada hal yang gua sadari, media sosial belakangan jadi rat race scene alias balapan dapetin kedju dari akun dengan statistik menggiurkan. And what if the account you know used to be your friend that spend many endless night with you? Calm down, and read mine. 

Ada satu masa gua iri sama temen-temen yang bisa blazing passion mereka menjadi sebuah manuver 360 derajat : money, digital exposure, well-being. Dang, kenapa sih gua gak bermanuver demikian. Namun semua itu bikin gua merenung, am I urge to have it as person? That's the question I'd like to unveil. Sampai akhirnya gua memahami, that I am lucky enough to have numbers over the social media. Cuma gua lebih paham bahwa, gua cuma seneng cerita. I am that Indonesian boy that grow up with many stories, narrative, histories. Lalu saat dewasa gua melihat minat baca orang-orang terjun bebas dan mereka butuh media yang stimulasinya 360 alias all round, audio, visual, kinestetik. Jadilah media sosial sebagai wadah eksperimen. But what's ideal state for you, as many? 

While seeing my friend escalated quickly, all I want to know : hey there can us hang out? Unfortunately the answer recently : no. I do feel bad about it. Cuma lama-lama gua sadar bahwa Harrier belom kebeli, apalagi Samsung flagship belom ditangan. Kembali ke kearifan jaman bocah, saking gua considered as weird, friend will come and go, keep thing that outlast.. then I choose to invest,  dang..! While the digital platform still less assuring my financial, I pulled it off and get back to my ass go to work where the money will transfer to my account, monthly. Am glad with them, but now, I have to buy my own Harrier and assure my Samsung flagship connected with the audio in the car. The hangout era meet its dawn. 

Sebagai pendengar dan curi-dengar obrolan orang, banyak yang bilang : temen gua udah influensyah jadi ngeselin. As my personal experience, no honey, they yet considered as disgust as that.. hence to be understood, they recently prioritize their digital asset. Might yourself is not on the list, the round up number sometime outnumbered somewhat calculate you in. We're adult, unfortunately. 

Bagian pertama adalah acknowledge yourself first. Ketahui dirimu sendiri bung. Kalo saat ini riset pribadi membuktikan bahwa you can't get along with your old friend, it doesn't mean you're off to go. There will be a time, when you gather with your besties, best best best, in a warm home. But not now. Shall you cherish many things, aside gather with your friends. 

Bagian kedua adalah always exist. Temen lo tetiba ilang, jangan ikutan ilang. Be present, and let's see how it will be going afterwards. Gua berpengalaman sebagai temen yang betadine, dateng pas susah, pas seneng ya udah bye bye. Namun pengalaman lain, I have real good friends, yang kita jalanin banyak proses hidup bareng-bareng sampai saat ini. That's always on my list and on my mind. This to avoid you being a rat crave for a cheese while actually the kind of cheese not meet your nutrition.. and it might kill you after have it. 

Bagian ketiga adalah have faith in friendship. Ada yang akan bertahan lama, ada yang berdurasi, dan hargai semua konteks atau keterangan waktu tersebut. Pukul rata? Jangan dong, yang bertahan lama bertahun-tahun harus lo kasih yang paling tinggi. Karena maintenancenya pasti lo butuh banyak usaha dan lo bahagia. Kalau yang durasi, kek investasi aja shay, tetapkan kapan jatuh temponya buat lo maintain. Ihiy! 

After all, all human things always temporary, but some may outlast. 

Soon you have the list and cherish that. 


***

To Let You Know #1 

Doa ortu gua saat ini adalah bukan cuma anaknya punya pekerjaan atau bisa masuk CPNS. The fundamental pray can be, anaknya bisa se-bawel memori mereka saat masih kecil. Karena anaknya yang sekarang gak banyak cerita. Hidupnya cuma dari handphone-laptop-handphone-laptop. Khusyu sekali. Gua agak radikal memang bertindak, karena tau cerita ke orang yang belom kelar isu psikisnya dan udah masuk lansia akan jadi boomerang ke diri sendiri. Namun hal yang sejak lama gua sadari saat masih cukup rutin infoin lagi ngapain adalah : they are not perfect and yes they are hard to establish empathy, include to their children. 

Udah belakangan ini ada dua hal yang sedang gua jalanin setelah jam kerja : bela diri sama spiritual journey. Dua hal ini bener-bener bikin gua fulfilled as human. Bela diri awalnya gua pilih karena bosen banget kan pull ups itu lagi, itu lagi. Ada konteks healing the inner teen, yang dulu jaman SMP gak boleh ikut bela diri. Pas SMA ditawarin lagi tapi guanya udah kadung gak kepengen karena udah paham bahwa itu duit ortu. Tidak pernah ilang dari ingatan ini soal gua diungkit-ungkit soal iuran sekolah saat SMA. It hurted me a lot, dan pas masa damai, sekolah gua udah agak bener nilainya ada offer bela diri, gua nolak. Gua udah mikir risk-nya. 

Soal spiritual journey ini, gua asli gak pengen bilang-bilang. Karena ini soal gua dan diri gua. Gua cukup kuat berdevosi bahwa keluarga gak perlu tau dan akan tahu pada saat yang tepat. Panggilan-Nya udah gak cuma sentuhan tapi udah ya manggil. Belakangan setelah mulai masuk journey, gua bisa tidur lebih nyenyak malem (kecuali malem ini, karena emang pengen tidur agak telat). 

Kadang gua berasa abege, apa-apa dirahasain. Namun, apa yang gua maknai saat ini adalah lebih selektif dalam berbagi. Karena dari riset jaman kuliah, kebahagiaan adalah hal yang subjektif. Lo hepi, orang lain belom tentu bisa feel it. And am less interested to tell everyone that I am fulfilled ever since. 

***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tyo in Setiabudi | RIPIU PARFUM KANTORANN!! ELVICTO SUIT AND TIE

Tyo in Kosan | Final Masquerade :(

Tyo in Kosan | Coba Cerita..