Siap-Siap Usia 30

backpain

tolak-angin addict

hot in cream abuser

eh iya, ini kan gua mau cerita ya udah ngapain aja menjelang usia 30. Oke lesgo.

***

Gua Tyo, ceritanya gua mau naro catatan. Banyak catatan mungkin, selain banyak cacatan. Soal proses dari usia 20 ke sekarang itungan bulan usia gua 30. Mari, dimulai. 

Usia 20 Baday!

Bukan badai tapi baday! 

Kayaknya keren udah kepala dua, keren udah bisa berpikir logis, kritis, mengutarakan pendapat endebrey endeskrey etapi yang gak kalah rusuh adalah thunderstorm-nya gak ada obat. Banyak kesalahan yang gua lakukan selama kepala dua. Pada satu titik, memulai kepala dua ini karena ngerasa kecil sebagai individu. Cuma idup terus jalan dan ketemu (saat itu) banyak kesialan dalam hidup. Energi cenderung destruktif, karena menganggap, sebelom keadaan menghancurkan, ancurin dulu aja diri ini (hehe salah sih). Rupanya gak ngefek, tetep aja makin ancur. 

Salah satu momen epic di usia kepala dua adalah kehilangan sahabat. Orang yang sekian tahun lo percaya dan lo beri toleransi, rupanya setelah sekian lama misah dia berubah jadi I don't know, kind of monster. Hal ini berdampak besar sama membangun perkawanan saat usia 20an. Gak mau lagi kecewa, gua memilih jadi orang netral dibanding considered as someone's best friend. Berikut dengan semua konsekuensinya. Jujur sih, kesian sama orang-orang yang mau ikrib dan ngeliat gua bukan orang yang susah-susah amat diajak ngobrol. Gak ada yang lebih buruk saat depan mata sahabat lo ilang. 

Ada faktor X juga dalam perilaku oknum ini setelah ditelusurin. Hal yang gak pernah gua tau setelah misah sekolah pas SMP. Saat kita semua udah bertumbuh jadi pekerja atau profesional. Dia masih kejebak sama mimpi-mimpi. Dia gak adaptif, dia akhirnya jadi sosok monster. Sebut aja ya monster, terlalu kelam buat kalau diceritain kelakuan dia seperti apa.

Sisi lain juga memisahkan diri dari entitas angkatan perkuliahan. Setelah pernah bertengkar hebat sama dospem. Lima tahun berselang, kenapa bisa sampai bertengkar hebat masih jadi misteri. Ketika misahin diri alias ngilang sepertinya keadaan baik-baik saja. Jadi ya gak pernah nanya lagi gimana kabar mereka. Still I do have good friend of mine saat kuliah. Toh pikir gua sekarang, kayaknya kuliah is kuliah after all. Pernah ada kenangan tapi ya idup kan terus berjalan.

Jujur hal paling membingungkan saat kepala dua adalah mau kemana setelah gak jadi siapa-siapa. Gua punya rencana karir. Satu dan lain hal, gua kejebak sama mindset sendiri, mindset masa kecil yang pengennya aman-aman aja. Padahal, kalau dilihat, gak ada sesuatu yang luar biasa kalau elu sendiri biasa di dalem. Saat kepala dua, kenapa gua gak kepikiran kaya jaman SMA. Mana yang bisa gua terobos, gua terobos. Kayak lagunya Imagine Dragons aja, whatever it takes Jujur setelah cita-cita ini gak berhasil gua capai, gua ilang, ilang aja gitu sampe sekarang yang oke yuk sekarang selain punggung gampang sakit udah mulai jadi tulang punggung. 

Saat usia 20, realita seperti mendorong gua jadi orang yang biasa-biasa aja. Udah kayaknya lepas aja gitu semua yang dicapai saat SMA kemarin. Hal yang paling gua sesali lebih ke rasa takut dan insecurity, yang mestinya bisa dikendalikan. 

Kedepannya gua rasa badai yang muncul akan bejibun, lebih bejibun lagi. Lo tau lo akan tenggelam, tapi lo juga perlu tau, lo bisa berenang.  

Usia 20 dan Kegilaan yang Cuma Sekali 

Usia 20 itu adalah saat-saat buang-buang darah dan membuktikan nyawa kita banyak. Sebelum kita akhirnya bikin satu konsep dalam pemetaan otak yaitu 'bahaya' sama 'gila'. 

Segila apa gua saat usia 20. Segila, gua pernah ikut sebagai anggota kepolisian untuk keperluan skripsi. Cuma kita awal banget kenalan, nongkrong bareng, akhirnya kadang gua suka diperlakukan seperti anggota polisi sesungguhnya. Bahkan paling epic, adalah pas pernah berat badan gua cuma sisa 80kg, jalan depan polisi aktif, gua diberi hormat dikira atasannya lagi ngintel. Kan bego ya.. 

Sekarang gua udah jauh banget dari temen-temen intelijen kepolisian jaman skripsi. Sekarang gua fokus cari duit karena dari siapa lagi gua bergantung selain diri sendiri. Cuma sisi yang paling gua syukuri selama usia 20 adalah memacu adrenalin sampe abis. Ngikutin polisi buat dapetin dinamika perilakunya gak gampang. Lo bayangin, lo ngikutin orang yang ngurus dari Sabang sampai Merauke berjajar para kriminal yang harus lo tangkepin. 

Frankly speaking, itu mengubah kepribadian gua. I was destined a looser. Tidak satu gen ksatria nempel di kode DNA gua. Keluargapun pengennya yang aman-aman aja. Namun ada kesadaran di mana ada wilayah hidup dimana lo harus ngorbanin diri sendiri dulu biar aman. Karena pernah ngikut polisi pas skripsi, gua bisa mendefinisikan banyak hal soal keamanan pribadi. Gua kemana-mana lempeng aje gitu selama gua gak bareng temen-temen atau keluarga. Gua merasa aman. Entah kenapa pas lagi penelitian karena blend in sama polisi, kadang target polisi ini ngira gua polisi. Jadilah gua yang diincer, sementara polisi benerannya bisa bertugas. 

Gua tertarik jadi psikolog buat polisi karena hidup di Indonesia gak akan jauh dari kriminal. Bahkan salah seorang sahabat gua aja sudah terciduk sebagai kriminal, kelas teri sangrai sih. Om gua pernah jadi korban kriminal. Gua ngerasain gimana life on the edge karena ada keluarga yang close to government. Cuma sayang, gua kurang paham dan kurang mencari informasi plus kurang persiapan. Ya hasilnya gua bukan kriteria kandidat anggota kepolisian yang ditaro di poster penerimaan anggota. 

Saat penelitian bertema polisi ini, ada part of existential gua terpenuhi : the art being of un-being. EIYA GIMANA? Ada intensi dalam diri gua, tarolah sebuah range, dari range recognizeable sampai unrecognizeable. Kebetulan pemirsa saya bersama intelijen kepolisian, dasarnya aja udah intelijen jadi udah terbiasa soal hal-hal tidak terlihat dan terasa. Gua dulu mempertanyakan, kok gak dianggep sih? Kalau sekarang gua mempertanyakan : oh iya gua ada ya? Itu akhirnya sering memicu kemarahan banyak pihak ya. Akhirnya sekarang as one below the bar person with above the bar impact, gua gak perlu repot nongol. Gede dan gak keliatan itu menarik buat gua. Makanya gua dibiasain pamit, karena dari kecil gua udah berbakat hilang tanpa jejak. Sebuah bakat yang kurang gua pahami tapi selalu kepake. 

Saat meneliti gua akhirnya belajar soal negara dan pemerintahan. Gua tidak impulsif saat pemilu, ataupun ada isu-isu yang menyebalkan ya hari ini. Negara ini kadang game, ada unsur serunya, ada unsur tai ah-nya, ada unsur yang unwritten, ada unsur unspoken, ada unsur don't ask don't tell. Sehingga saat ada isu genting, dan netizen mulai melempar cuitan yang eksplosif, reaksi gua tetep : it takes time, but if you can handle those, carry on. 

Gua masih inget se-nyali itu buat ikut demo, nyari korlap demo, berangkat Rabu pagi, pulang Jumat subuh, terus kuliah lagi. Sementara sekarang, coba kalo diulang, belom tentu gua senekat itu. Gua ngeliat adrenalin tersalurkan.

Part ikutin polisi ini bisa dibilang kontribusinya banyak dalam mematangkan gua sebagai sosok dewasa. Apalagi bagian self-improvement sebagai laki-laki di masyarakat patriarki yang nuntut sana-sini :p. Sosok gua yang ditampilkan more or less, ambience-nya dapet dari polisi ini. Pada usia 20an gua mempelajari bahwa unfortunately you can't be a person exactly who you want, but you will feed the community with desired profile. Lantas gua akan dicap aneh kalau am appear as I am, tapi gua akan dicari kalau gua punya profil presisi sesosok laki-laki di masyarakat patriarki. 

jangan lupa, selalu perhatikan market. 

Makanya kalau ada orang jadi polisi atau aparat gadungan. Gua cuma bisa bilang, gua lebih susah, karena meyakinkan para aparat ini bahwa gua bukan anggota mereka *ngakak*

--to be continue--